
Uni Eropa memutuskan untuk menempuh jalur diplomasi dalam menghadapi ketegangan dagang dengan Amerika Serikat, dengan lebih memprioritaskan keamanan di perbatasan timur dibandingkan sengketa tarif. Keputusan ini datang di tengah ancaman perang yang terus menghantui kawasan tersebut.
Presiden Dewan UE Antonio Costa menyampaikan keputusan ini dalam Forum Strategis Bled 2025 di Bled, Slovenia, pada Senin (1/9/2025). Costa menekankan pentingnya pendekatan yang hati-hati dalam menangani hubungan dengan Amerika Serikat. Menurutnya, menjaga keamanan di perbatasan timur Eropa adalah prioritas utama, ketimbang memperuncing perselisihan perdagangan.
“Perdagangan adalah salah satu dimensi hubungan kami dengan Amerika Serikat. Keamanan—terutama selama perang di depan mata kami—merupakan masalah eksistensial,”
kata Costa saat berbicara di Forum Strategis Bled 2025 sebagaimana dikutip dari Kantor Berita Antara.
Pernyataan Costa ini muncul beberapa hari setelah UE dan AS menyepakati perjanjian dagang pada akhir Agustus, yang berhasil meredakan ketegangan tarif setelah beberapa bulan negosiasi. Berdasarkan perjanjian ini, AS setuju menurunkan tarif mobil Eropa dari 27,5 persen menjadi 15 persen mulai 1 Agustus, dan UE sepakat menghapus tarif pada berbagai produk industri AS seperti mesin, farmasi, dan bahan kimia tertentu.
Costa mengakui bahwa ada perasaan frustrasi di Eropa mengenai sikap pasif UE dalam merespons perkembangan global. Namun, ia menekankan bahwa perdagangan, keamanan, dan diplomasi adalah hal yang tidak terpisahkan.
“Kami tentu saja tidak merayakan kembalinya tarif atau kerangka kerja perdagangan yang tidak seimbang. Namun, kami harus jujur tentang gambaran yang lebih luas,”
ujarnya.
Costa juga menyoroti pentingnya menjaga stabilitas hubungan transatlantik dan memastikan keterlibatan AS dalam keamanan Ukraina sebagai prioritas utama.
“Menstabilkan hubungan transatlantik dan memastikan keterlibatan AS dalam keamanan Ukraina telah menjadi prioritas utama,”
katanya.
Ia juga mendorong agar UE meningkatkan kapasitas otonomi dan kemandiriannya. “Kita harus menjadi lebih otonom, lebih tangguh, lebih siap bertindak, dan lebih berdaulat. Kita tidak bisa lagi hanya bergantung pada sekutu kita ketika menghadapi ancaman. Kita harus mengambil tanggung jawab yang lebih besar atas nasib kita sendiri,” tegasnya.
—