Ketua Mahkamah Konstitusi, Suhartoyo, menegaskan bahwa perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK adalah kewenangan lembaga legislatif, bukan MK. Suhartoyo lebih memilih untuk tidak berkomentar banyak mengenai rencana revisi.
“Kita no comment (tidak ada komentar). Silakan saja, karena itu kewenangan pembentuk undang-undang,”
” kata Suhartoyo di Gedung MK, Jakarta, Rabu (13/8/2025).
Menurut laporan dari Antara, pembicaraan mengenai revisi UU MK kembali mengemuka setelah Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 tentang pemisahan Pemilu nasional dan daerah.
Hinca Panjaitan, anggota Komisi III DPR RI, menyatakan bahwa hingga saat ini, parlemen belum memulai pembahasan terkait revisi UU MK, meskipun ada polemik yang mengikuti putusan tersebut.
Hinca menekankan bahwa revisi UU MK tidak berada dalam daftar Prolegnas prioritas tahunan DPR RI.
““Kalau revisi UU MK itu sampai hari ini, masih tetap UU MK-nya, di dalam prolegnas juga enggak ada, tidak ada jadwal untuk mengubah MK itu karena harus ada di prolegnas atau putusan Mahkamah Konstitusi sendiri untuk diajukan. Sampai kemarin belum ada,”
” kata Hinca.
Ia menjelaskan bahwa fungsi pengawasan DPR RI penting untuk mengevaluasi kinerja MK agar tetap sesuai konstitusi.
““Yang kami lakukan adalah dalam konteks ketatanegaraan kita agar semua lembaga yang dibentuk di republik ini, baik karena konstitusi maupun undang-undang, setia pada tupoksi-nya, setia lah dia pada jabatan dan fungsinya,”
” jelas Hinca.
Ia juga menolak anggapan bahwa evaluasi oleh Komisi III DPR RI terhadap MK adalah bentuk intervensi yang tidak perlu.
“
” kata dia. (N-7)
“Kalau kemudian MK lari atau keluar dari fungsinya, siapa yang mengawasi dia? Kan enggak boleh, setiap lembaga harus ada yang mengawasinya, setidak-tidaknya dirinya. Nah, ketika dirinya enggak lagi bisa mengawasinya, maka masyarakat lah yang mengawasinya. Nah, masyarakat mengawasinya siapa? Wakilnya adalah DPR, itu lah yang mewakili masyarakat,”
—